tokoh sufi

Syekh Abdul Qadir Jaelani

Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.




Kelahiran, Silsilah dan Nasab

Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani):

Syeh Abdul Qodir bin Abu Samih Musa bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Tsani Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW

Dari ibunya(Husaini) : Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW

Masa Muda

Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.

Murid-Murid

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.

Perkataan Ulama tentang Beliau

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).

Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu.”

Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.

 Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).

"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."

Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

 Karya

Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."

Karya karyanya  :

1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
2. Futuhul Ghaib.
3. Al-Fath ar-Rabbani
4. Jala' al-Khawathir
5. Sirr al-Asrar
6. Malfuzhat
7. Khamsata "Asyara Maktuban

Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.

 Ajaran-ajaranya

Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat ritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allahmenjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.

Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

 Awal Kemasyhuran

Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum.

Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku salat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."

Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.

Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.

Beberapa Kejadian Penting

Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.

Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.

Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”

Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.

Hubungan Guru dan Murid

Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.

1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:

Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.

Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.

Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.

Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.

Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.



JALALUDIN RUMI
Sebagai seorang pujangga cinta Maulana Jalaluddin Rumi adalah salah satu tokoh yang sangat populer di dunia Islam, melalui puisi dan syair dia mengungkapkan dengan segala kekaguman diri akan hakikat cinta. Dengan semangat baru melalui kekuatan perasaan dapat mengendalikan akal dan nafsu dan mampu meletakkan asas bagi pembicaraan baru tanpa benturan akal.
Sungguh suatu magnet yang sangat luar biasa. Maulana Jalaluddin Rumi mengibaratkan cinta seperti yang dia ungkapkan ”Cinta dapat menghancurkan segala keraguan, dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih menjadi emas, kering menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakan besi, meghancurleburkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya, seta membuat budak menjadi pemimpin”.
Lebih dahsyat lagi dia menambahkan bahwa cinta adalahsayap yang dapat menerbangkan manusia yang membawa beban yang sangat berat ke angkas raya, dan dari kedalaman mengangkatnya ke tinggian, dari bumi ke bintang Tsurayya”.
Syair dan puisinya dapat menghangatkan hati yang terluka, menghembusakan perasaan yang rindu kepada sang yang dicintai. Cinta adalah obat yang paling mujarab bagi segala penyakit jiwa. Walaupun kini ia sudah tidak ada tetapi syair dan puisi cintanya sangat melekat di hati dan sanubari sang pencari cinta.
Riwayat Sang Pujangga
Maulana Jalaluddin Rumi sebagai nama kebesaran memiliki nama lengkap Jalalauddin Muhammad bin Muhammad al-Rumi yang menjadi cikal bakal mengapa dinamakan Jalaluddin Rumi. Lahir pada 6 Rabi’ al-Awwal 604 H/30 September 1207 di Iran Utara tepatnya kota Balkh oleh sebab itu orang-orang Parsi lebih suka memanggilnya dengan sebutan Jalalauddin Balkhi ketimbang Jalalauddin Rumi (Rum=Bizantium).
Ayah Jalaluddin bernama Bahauddin Walad yang mempunyai julukan sebagai Sulthan al-Ulama (rajanya para ulama) karena memang dia bertugas sebagai hakim dan khatib, juga dikenal dengan keluasan ilmunya yang banyak dikagumi oleh para ulama di kota Wakhsy. Di kota ini pula Jalaluddin Rumi tinggal bersama ibunya Mu’min Kahtun. Ketika Jalaluddin berumur lima tahun ia terpaksa hijrah ke Naisyapur bersama ayahnya, karena mendengar akan adanya agresi militer oleh tentara Kahwarizmsyah.
Di Naisyapur ayahnya bertemu dengan seorang sufi yang terkenal, Fakhruddin Razi sekaligus memberi tahu bahwa Jalaluddin akan menjadi tokoh spiritual besar di zamannya. Antara tahun 1215-1220 setelah menunaikan ibadah Haji mereka tinggal beberapa waktu yang lama di Aleppo atau Damaskus, di kota inilah Jalaluddin belajar kepada beberapa guru ahli bahasa Arab yang sangat mashur dan pandai dalam mencitakan bait-bait syair, mulai dari sinilah Jallaluddin mempelajari penulisan syair sehingga ia dapat menuliskan sejumlah syair yang membuat banyak orang terkenang dengan syair-syairnya
Untuk kesekian kalinya Jalaluddin berhijrah dari satu tempat ketempat lain, namun kali ini dia menuju Konya dari Khurasan. Ketika itu Jalaluddin berumur 18 tahun. Di tahun itu pula dalam perjalanannya menuju Konya itu ia menikahi seorang gadis dari rombongan yang pergi bersamanya. Di Larada pada tahun 1226 putra pertama Jalaluddin lahir dan diberi nama seperti nama kakeknya Sultan Walad. Lalu, keluarga itu mengadakan perjalanan kembali menuju Konya. Jauh perjalanan yang mencapai 100 km ternyata membuahkan hasil karena ayah Jalalauddin yang sudah berusia 80 tahun diberi kepercayaan untuk mengajar madrasah. Dan sebuah anugerah kembali menghampiri Jalaluddin ketika masa-masa itu (1228/9) putra keduanya lahir dan diberi nama Alaudin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin yang meninggal di Larada. Pada tahun 1231 sang ayah Bahauddin Walad meninggal dunia. Sehingga Jalaluddin menjadi penerusnya dan mengajarkan kepada murid-murid ayahnya akan ilmu teolog.

Bahauddin Walad Seorang Sufi
Ketika sang ayah meninggal dunia secara otomatis Jalaluddin menggantikan posisinya. Akan tetapi, Jalaluddin belum mengetahui secara pasti bahwa ayahnya adalah seorang mistikus bahkan sufi, tetapi sulit dijelaskan apakah Bahauddin Walad ini diakui secara sanad atau tidak.
Seorang yang banyak mengetahui Jalaluddin adalah anaknya sendiri Sultan Walad yang menuliskan Biografi lengkap mengenai kehidupan Jalaluddin mengatakan bahwa sang kakek adalah “Sultanya para ulama…. Yang lebih tinggi dari Fakhtuddin Razi dan seratus orang seperti Ibn Sina”. Kitab Ma’aarif buah tangan ayahnya sendiri yang belakangan baru diketahui oleh Jalaluddin setelah seorang murid ayahnya Burhanuddin Muhaqqiq mengkisahkan di dalam kitab tersebut sebuah catatan, komentar-komentar seperti layaknya buku harian dan rangkuman khutbah-khutbanya yang telah banyak mengejutkan orang yang membacanya, karena pengalaman mistik yang merupakan sesuatu yang sangat tidak biasa. Kebebasannya dalam mengungkapkan pengalaman cinta spritualnya sangat menakjubkan. Sesungguhnya dia telah mengalami tahapan mistik tertinggi, sesuatu yang sensual, suatu cinta yang sempurna kepada Tuhan, sampai ia berada dalam pelukan-Nya. Ditunjukkan dari salah satu baitnya yang berbunyi
Pergilah kepangkuan Tuhan
Dan Tuhan akan memelukmu dan mencintaimu dan menunjukkan
Bahwa ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya.
Ia akan menyimpan hatimu dalam hati-Nya,
Siang dan malam. (Ma’arif, h.28)
Bertemunya Jalaluddin dengan Syamsuddin Tibriz Dan Karya-karya Maulana
Pada tahun 1230 dan awal 1244 adalah masa-masa di mana Jalaluddin memiliki banyak murid dan cukup berepengaruh di tingkat pemerintahan, sebagai seorang yang alim, mengajar dan bermeditasi. Dia mengunakan pengaruh kebesarannya untuk membantu orang miskin dan para murid-muridnya.
Sebelum menjadi orang yang termashur di Konya, Jalaluddin adalah orang yang sudah terbiasa dengan syair dan puisi. Dan ketika membaca karya-karya Sanai, terkagum-kagumlah Rumi. Kekagumannyapun pada tokoh inipun ia salurkan dalam bait Kitabnya Diwan al-Kabir.
Seorang berkata:”Wahai, Tuanku Sanai telah meninggal dunia!”
Aduhai, kematian orang itu bukan hal yang sepele!
Ia bukan sekedar benang yang terbang bersama angin,
Ia bukan air yang membeku karena dingin,
Ia bukam sisir yang patah di rambut,
Ia bukam butiran yang hancur di dalam tanah.
Ia adalah emas yang ada dalam debu….(Diwan al-Kabir 1007)
Hal yang mungkin sama terjadi ketika itu terulang kembali. Namun, ini merupakan sesosok orang yang ia temui secara fisik di perjalanan menuju pulang dari tempat ia mengajar. Oktober 1244 /Jumad al-Akhir 642 H tepatnya, sosok yang tidak ia kenali itu menanyakan satu hal, walau masih perdebatan, akan tetapi dari sumber yang terpercaya mengatakan orang yang tak dikenal bertanya kepada Maulana Jalaluddin. “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah atau sufi Persia, Bayazid Bisthami yang mengatakan Subhani, Maha Suci diriku?” Sebuah pertanyaan yang singkat tapi mengagetkan Jalaluddin, sampai-sampai ia jatuh pingsan. Orang yang menanyakan itu adalah seorang sufi dari Tabriz Iran bernama Muhammad bin Ali bin Malik Daad, lebih dikenal dengan Syamsuddin Tabriz.
Pertemuan ini pun akhirnya menjadikan Jalaluddin dan Syamsuddin Tabriz bersahabat, bahkan keduanya tak terpisahkan lagi, mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Dan anaknya pun Sultan Walad berkata mengenai persahabatannya “Sesungguhnya seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataanya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiadatara”.
Syamsuddin yang berarti “matahari agama”, bagi Rumi, Syams adalah matahari yang luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuat menyala, dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna. Sebuah syair berbunyi mengenai Syams
Citra impiananmu ada di dada kami
Sejak fajar kami sudah dapat merasakan sang surya. (Diwan al-Syams 2669)
Wajahmu bak sang mentari, Wahai Syamsuddin
Yang dengan hati berkelana bagai cawan!
Kemesraan yang tampak dari kedunya ternyata tak diamini oleh keluarga dan muridnya. Karena bagaimana mungkin seorang guru mengabaikan tugas mengajar dan keluarganya?
Situasi yang yang kurang mengenakan ini terbaca oleh Syams, akhirnya ia memutusakan untuk pergi meninggalkan Maulana secara misterius; semisterius kedatangannya.
Jalaluddin merasa patah hati, yang dapat dilakukannya dari perpisahan dengan mataharinya adalah dengan merubah dirinya menjadi penyair, mulai mendengarkan musik, bernyayi, menari berputar-putar berjam-jam. Dan mencoba menulis surat kepada Syams, tetapi darwis itu menghilang tak tentu rimbanya dan jawabanpun tak kunjung tiba.
Aku menulis seratus surat,
Aku menilis seratus jalan
Tampaknya tak kau baca selembar surat pun,
Tampaknya tak kau ketahui satu jalan pun. (Diwan al-syams)
Pada suatu saat akhirnya diketahui kalau Syams berada di kota Damaskus, dengan senang sekali ia langsung mengutus anaknya Sultan Walad untuk menjemputnya dan tinggal bersamanya. Sekembali Syams dari kepergiaanya, rupanya kecemburuan kembali lagi, kali ini anaknya Alauddin yang merasa terganggu. Maka suatu malam ketika Syams berbincang dengan Maulana, dia dipanggil lewat pintu belakang. Dia melangkah keluar dan tak pernah kembali.
Syam tak pernah kembali: Dan apalah hidup ini tanpa sang matahari? Semesta alam tampaknya turut berduka cita bersama Maulana. Dengan harapan yang tak mungkin terjadi, Maulana pergi ke Suriah. Akan tetapi, kemudian “dia menemukannya dalam dirinya, bersinar bak rembulan”.
Ia Berkata: “Karena aku adalah dia. Apa gunanya mencari? Aku sama dengan dia, zatnyalah yang berbicara! Sebenarnaya yang kucari adalah diriku sendiri, itu pasti.Yang mencari dalam tong, bak air anggur.”
Begitulah Sultan Walad menceritakan ayahnya dalam Waladnama, karyanya. Karena memang dahulu ketika hijrah ke Damaskus banyak belajar dengan para ulama-ulama yang mashur dengan karya-karya puitisnya maka itulah yang banyak ia pelajari dan ia banyak cipta dalam hasil karyanya. Namun apa yang lantas melatar belakanginya untuk membuat syair itu, jawabanya ada dalam Fihi ma Fihinya, yang mengatakan bahwa dia menulis syair guna menghibur sahabat-sahabatnya, Jalaluddin mengibaratanya seolah-olah seseorang harus mencuci dan membersihkan daging karena tamu-tamunya menginginkan makanan tersebut. Benar-benar sangat menakjubkan, karena bagaimanapun ia telah menulis lebih dari empat puluh ribu syair lirik dan lebih dari dua puluh lima ribu baris syair didaktik.
Walau perlu diingat puisi dikalangan Islam taat sama sekali tidak bersahabat, mengingat dahulu puisi di zaman pra Islam berhubungan dengan sihir dan umumnya sering berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan.
Ghazal-ghazal Rumi, secara formal dan teknis berasal dari pengalaman pribadi langsung, seperti ketika mencari seorang sahabat yaitu Syams, Maulana berkata:
Bila orang itu mengatakan,
“Aku telah melihat Syams!”
Maka tanyakanlah,
“Kemanakah jalan menuju surga?”
Syair-syairnya pun banyak lahir dari hasil meditasinya mendengarkan musik dan taran berputar, yang sering berlangsung selama berjam-jam. Jumlah karnyanya sebanyak enam buah kitab yang seluruhnya berkekuatan sastra yang memikat.
Diwan al-Kabir sebuah kitab berisi tentang pengalamanya bersama sang guru yang menghilang. Maka belakangan kumpulan syair ini lebih dikenal dengan sebutan Diwan al-Syams. Kemudian Maqalat al-Syams Tibriz Bunga rampai dari catatan dan nasihat-nasihat Syams kepada Maulana Jalaluddin Rumi. Kitab yang sangat monumental dan fenomenal adalah Masnawi Ma’nawi yang Maulana susun selama 15 tahun ketika ia bersahabat dengan Hisamuddin Hasan dan juga sebagai ucapan terimakasih kepada Sanai’ karena memang kitab kumpulan ini mirip sekali dengan kitabnya yang berjudul Hadiqah al-Haqiqah. Al-Masnawi yang dikarang Maulana berjumlah kurang lebih 25.700 bait syair berirama, terbagi dalam enam jilid. Dalam karyanya itu mengkisahkan tentang ajaran-ajaran Tasawwuf dalam bentuk anekdot, legenda dan apologi. Karya lainya Rubaiyyat, sajak empat baris yang berjumlah 1600 bait. Fihi ma Fihi yang Maulana tulis dalam bentuk prosa, merupakan himpunan ceramah-ceramah Tasawufnya. Dan yang terakhir adalah Maktubat yaitu himpunan surat-surat kepada para sahabat dan para pengikutnya. Kesemaunya itu adalah merupakan karya puitis Maulana Jalaluddin Rumi.

Manifestasi Cinta
‘Isyq, ‘asyiq, ma’syuq.
“Cinta, sang pencinta, yang dicintai”.
Ungkapan maulana Jalaluddin Rumi dalam Masnawi. Maulana Jalaluddin Rumi seketika mengajak kita untuk merasakan cinta, mengungkap rahasia cinta, mengungkapkan keajaibanya dan bagaimanakah sebenarnya cinta itu.
Bagaimanakah keadaan sang pencinta?”
Tanya seorang laki-laki
Kujawab,”jangan bertanya seperti itu, sobat:
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika dia memanggilmu,
Engkaupun akan memanggilNya (Diwan 2733)
Maulana tahu bahwa dirinya tak pernah berbicara tentang cinta dengan benar, tetapi segenap karyanya adalah upaya untuk menjelaskan cinta, cinta yang telah memindahkan dirinya dari hidup normal dan telah mengubahnya menjadi sseorang penyair. Penyair yang kata-katanya tak lain adalah ulasan yang tak pernah ada artinya tentang misteri illahi.
Menurut Maulana Cinta itu pra-abadi, cinta itu magnet; sejurus lamanya cinta benar-benar menyinarkan jiwa, kemudian ia pun menjadi perangkap yang menjerat burung jiwa, yang kepada burung, jiwa inilah cinta menawarkan realitas, dan semua ini hanyalah permulaan cinta, tidak ada manusia yang mencapai ujungnya!
Salah satu pujian di mana Maulana mencoba menemukan apa cinta itu, dimulai dengan pernaytaan
Duhai Cinta, siapa yang bentuknya lebih indah,
Engkau atau tanaman dan kebun apelmu? (Diwan 2138)
Dan syair itu dilanjutkan dalam irama yang menari-nari, menuturkan tindakan-tindakan cinta yang luar biasa, yang mendorong setiap atom dan pepohonan menari-nari dan mengubah segalanya.
Tanpa cinta, dalam kehidupan tidak akan ada kebahagiaan karena kehidupan akan menjadi hambar yang tiada batasnya itu. Visinya memanggil pulang si pengelana:
Aku berkelana terus, aku melangkah dari akhir ke awal
Dalam mimpi, gajah ini melihat gurun luas Hindustanmu!
Rumi pernah mendengar Cinta bertutur kepada dirinya, bahwa dia sendiri itu api, yang dinyalakan oleh angin cinta, tetapi perumpamaan menggambarkan situasi itu sebaliknya.
Cinta itu api yang akan mengubahku menjadi air,
Seandainya aku batu yang keras,
(Diwan 2785)
Dalam sebuah amsal yang bagus, Rumi menyamakan cinta dengan kilat yang cahayanya membakar awan yang menyembunyikan rembulan hancurlah apapun yang kiranya tetap menyirnai wajah sang tercinta yang seperti rembulan itu.
Cinta adalah oven untuk menghangatkan segala yang membeku di dunia materi, dan juga api di bawah tempat melebur logam di mana baja menjadi meleleh menanti dirinya diubah menjadi emas murni oleh alkemi cinta. Karena cinta menuntut agar semua yang mencarinya harus masuk ke dalam tempat peleburan logam.
Cinta seperti menara cahaya
Di dalam menara itu api!
Seperti burung-burung unta,
Jiwa-jiwa yang mengitari menara itu
Makanan mereka api yang sangat lezat (Diwan 2690)
Cinta itu samudra yang gelombangnya tak terlihat
Air samudra itu api ssedangkan ombaknya itu mutiara.
(Diwan 1096)